Rabu, 20 Januari 2010

The tears - The smile - The truth

*copas dari Samuel Josafat Olam

Akhirnya selesai juga stase minggu pertama di Tangerang. Banyak pengalaman yang sudah saya petik dan tentunya akan menjadi pelajaran yang berguna untuk masa depan. Saya puas karena begitu banyak hal yang dapat saya saksikan sendiri. Pelajaran mengenai tubuh manusia dan terlebih lagi, pelajaran mengenai hidup.


The Tears

Setiap koass yang pernah stase di Tangerang pasti pernah melihat pasien yang meninggal di depan matanya. Bukan karena rendahnya mutu pelayanan dan kemampuan dokter dalam menangani penyakit pasien, namun karena sang pasien tidak mampu ‘membeli’ kehidupannya.

Saya sadar sepenuhnya bahwa dalam hidup pasti ada yang namanya survival of the fittest (setidaknya saya percaya bahwa Darwin benar soal proses seleksi alam ini). Mereka yang mampu bertahan akan terus hidup dan memiliki kesempatan untuk menghasilkan keturunan dengan kualitas wahid, sedangkan mereka yang lemah terpaksa harus mengalah. Namun, meskipun saya bukan seorang sosialis, saya percaya bahwa setiap manusia berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan untuk mempertahankan hidupnya. Apa gunanya spesies setingkat manusia membentuk koloni kalau bukan untuk membangun kesejahteraan tiap individu di dalam populasinya? Koloni, atau dalam hal ini negara, bertanggung jawab atas kesehatan dan kehidupan rakyatnya.

Memang, hidup ada di tangan Tuhan. Tapi, apakah menyerah kepada ajal karena tidak mampu membayar juga masuk ke dalam kamus-Nya? Bukankah nabi-nabi datang ke dalam dunia untuk membuat tanda ajaib dan mujizat kesembuhan? Saya percaya Tuhan ingin menjamah hamba-Nya yang sakit dan menderita.

Mungkin itulah faktor utama yang membuat saya merasa tertekan selama dua minggu di Tangerang. Melihat satu-persatu pasien pulang (entah pulang paksa ataupun ‘berpulang’ ke sisi-Nya) tanpa bisa berbuat banyak. Melihat air mata dan teriakan putus asa dari keluarga yang ditinggalkan. Melihat ketidakadilan. Melihat ketidakberdayaan.

Pasien saya yang bernama Tn. M mengajarkan saya banyak hal. Kalau saya tidak salah ingat, dia seorang yatim piatu, yang tinggal bersama dengan kakaknya. Tn. M baru berusia 25 tahun dan belum menikah. Setelah kecelakaan yang dialaminya setahun lalu, dia kini mengalami gagal ginjal yang mengharuskannya menjalani dialisis selama beberapa kali seminggu. Pada awalnya, dia tidak dirawat di RSU Tangerang. Dia sempat menjalani 4 kali dialisis di RS Siloam Karawaci. Namun, karena biaya yang semakin menipis, akhirnya sang kakak mengajukan permohonan Jamkesmas dan membawa adiknya berobat di RS tempat saya bertugas.

Di sini saya melihat bahwa Jamkesmas, sekalipun merupakan singkatan dari Jaminan Kesehatan Masyarakat, tidak dapat menjadi jaminan bagi kesehatan masyarakat. Tn. M yang saya temui ternyata membutuhkan hemodialisis cito karena tiba-tiba mengalami sesak malam itu. Sang kakak yang awalnya berpikir untuk menunggu kesempatan hemodialisis gratis lewat Jamkesmas (yang entah kapan baru akan dilaksanakan) terpaksa mengubah keputusannya. Dia rela mengeluarkan biaya hampir satu juta rupiah (entah harus bekerja berapa bulan untuk mendapatkannya) untuk menukarnya dengan nyawa adiknya. Saat itulah saya bertekad, akan berupaya semaksimal mungkin untuk keselamatan Tn. M.

Setelah melakukan informed consent kepada kakak Tn. M, saya mulai mencari informasi mengenai rumah sakit swasta yang bisa melayani hemodialisis cito. Perawat yang berjaga bersama saya terlihat kebingungan dengan keputusan saya. Saya pun jadi bingung, jangan-jangan ini kali pertama ada koass yang rela ribet demi pasiennya. Gila, pikir saya, jangan bilang kalau bangsal ini belum pernah melakukan transfer pasien untuk hemodialisis cito.

Perawat yang baik dan setia itu segera menolong saya menghubungi beberapa rumah sakit namun tidak satupun dari rumah sakit itu yang mampu melayani hemodialisis cito. Tidak lama, Tuhan menunjukkan jalan lain. Setelah dihubungi oleh kakak Tn. M, rumah sakit Siloam ternyata bersedia melakukan hemodialisis cito, namun dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk mendatangkan petugas hemodialisis dan mempersiapkan peralatan. Tidak apa, pikir saya. Menunda satu jam lebih baik daripada satu hari.

Saya menghubungi dokter jaga untuk berbicara langsung dengan dokter RS Siloam lewat telepon dan mempersiapkan transfer pasien. Dalam 1 jam, Tn. M diberangkatkan ke RS Siloam. Saat itu, saya lega setengah mati. Saya percaya misi saya berhasil. Tn. M kini punya harapan untuk melanjutkan hidupnya.

Lima jam kemudian, sekitar pukul delapan pagi. Tn. M kembali ke RSU Tangerang. Kondisinya baik. Tidak sesak, dan bisa tidur tenang. Saya sangat bahagia ketika sang kakak kembali dengan wajah sumringah. Namun tak lama, sekitar satu atau dua jam kemudian, perawat berteriak memanggil saya. Tn. M apneu!

Saya tidak percaya apa yang saya dengar. Bukankah Tn. M sudah dihemodialisis? Bukankah saya sudah berusaha dan berhasil? Bukankah sang kakak telah menukar satu juta rupiah dengan hidup adiknya? Bukankah Tuhan sudah mendengar seruan hamba-Nya?

Pagi itu, Tn. M kembali menghadap pencipta-Nya. Sang kakak menangis tak henti-hentinya di sisi sang adik. Saya yang tidak tahan melihat cinta persaudaraan yang begitu besar hanya bisa meminta sang kakak untuk mengikhlaskan kepergian adiknya dan buru-buru meninggalkan ruangan. Sambil mengurus surat kematian, saya terus bertanya di dalam hati, kenapa semua jadi begini.


The Smile

Sebelum saya meninggalkan bangsal untuk kembali ke rumah koass, saya menyempatkan diri menemui kakak Tn. M. Saya mohon maaf karena segala keterbatasan saya. Saya sudah melakukan semua yang saya bisa. Saya benar-benar menyesal, karena di dalam hati saya tahu, pasti ada sesuatu yang luput dari kemampuan saya, yang salah dan terjadi pada Tn. M.

Tanpa saya duga, yang saya terima adalah sebuah senyuman. Senyuman yang meski tenggelam dalam air mata tetap bersinar dengan tulusnya. Senyuman dan ucapan terima kasih, itulah yang saya dapatkan sebagai balasan. Hati yang hancur, itulah yang saya rasakan.

Esoknya, saya merasa benar-benar tidak bersemangat untuk kembali beraktivitas di bangsal. Teh Euis, perawat super brilian yang biasa jadi partner kerja saya, juga tidak ada. Rasanya dunia saya runtuh.

Tetapi kemudian, saya melihat ke sekeliling dan merenung. Bukan cuma saya yang merasakan hal seperti ini. Teman-teman saya juga merasakannya. Betapa Nana dan Tika, yang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien mereka, tetap harus kehilangan. Betapa perawat-perawat yang bekerja dengan setia tetap harus berhadapan dengan pasien meninggal lagi dan lagi.

Saya mulai menemukan harta karun di balik semua ini. To cure sometimes, to relieve often, to comfort always. Semua pengalaman ini adalah pelajaran nyata yang membuat saya mengerti dengan hati, bukan hanya lewat teori.

Kini saya sudah bisa tersenyum lagi, menikmati pekerjaan sebagai koass karena pekerjaan ini adalah pekerjaan yang unik. Saya bisa belajar banyak hal yang luar biasa, bukan hanya untuk menjadi profesional yang berdiri terbungkus jas putih, tapi terlebih lagi, menjadi manusia sejati.


The Truth

Saya tidak pernah bercita-cita jadi dokter. Sampai saat ini pun, saya tidak pernah yakin akan pilihan yang sudah saya ambil ini. Bagi saya dokter butuh karakter sempurna dan dedikasi penuh seorang manusia, didasari kecintaannya akan ilmu dan sesamanya. Sedangkan saya, saya rasa saya tidak tepat untuk profesi ini. Saya tidak bisa menghafal jangka panjang, saya malas belajar, saya malas jaga, saya mau jadi orang kaya, bla bla bla. Pokoknya, saya punya seribu alasan untuk tidak jadi dokter.

Tapi, saya akan tetap bejuang untuk pasien-pasien saya.

Samuel Josafat Olam
Faculty of Medicine University of Indonesia
samuel_josafat@ yahoo.com

Tidak ada komentar: