Jumat, 11 Desember 2009

KPD

teruntuk BOMBOM! *chayo bom!!

di co-pas dari makalah seseorang *lupa

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

I.1. Definisi
Ketuban Pecah Dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban secara spontan sebelum proses persalinan dimulai (inpartu). Bila kejadian ini terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu, maka keadaan ini disebut ketuban pecah dini pretem (preterm premature rupture of membrane).1,2,3 KPD preterm dianggap lebih berbahaya karena keadaan ini berhubungan dengan peningkatan kelahiran prematur dan bila bagian terbawah janin belum masuk panggul, peningkatan resiko kompresi dan prolaps tali pusat.2,3,4 Lebih jauh lagi, bila KPD telah terjadi lebih dari 24 jam, resiko infeksi intrauterine juga meningkat drastis.1,4 KPD juga tercatat sebagai penyebab dari 30% kelahiran preterm.,2,3
Berdasarkan usia kehamilan, ketuban pecah dini dapat dibagi dua:
1. Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm (aterm PROM), yaitu pecahnya selaput ketuban secara spontan pada usia kehamilan 37 minggu atau lebih 1,2,4 ; secara statistik pada suatu studi yang dilakukan di UCLA, ditemukan bahwa persalinan akan dimulai dalam 24 jam setelah ketuban pecah, pada 81% kasus. 3 Penelitian lain menunjukkan bahwa pada keadaan aterm, 50% pasien KPD yang ditangani baik akan melahirkan dalam 5 jam setelah masuk rumah sakit, sementara 95% akan melahirkan dalam 28 jam.5
2. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm (preterm PROM), yaitu pecahnya selaput ketuban secara spontan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.1,2,4 Pada KPD preterm, kecepatan kelahiran ditentukan oleh usia kehamilan. Pasien dengan KPD yang terjadi pada usia kehamilan muda (sebelum trimester ketiga) akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mempertahankan kehamilan sampai waktu yang relatif lama. Sementara merekan dengan KPD pada usia kehamilan mendekati aterm (terutama trimester ketiga) akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melahirkan dalam beberapa hari setelah pecahnya ketuban.4 Penelitian lain menyebutkan bahwa 75% pasien dengan KPD preterm akan melahirkan dalam waktu 1 minggu walaupun telah diberi terapi yang memadai.6 Kondisi ini dibagi lagi atas: 2
• ketuban pecah dini pada usia kehamilan 32-36 minggu (preterm PROM near term)
• ketuban pecah dini pada usia kehamilan 23-31 minggu (preterm PROM remote from term),
• ketuban pecah pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu (previable PROM); bila proses persalinan segera berlangsung sesudahnya maka akan terjadi kematian neonatus.

I.2. Epidemiologi
Ketuban pecah dini secara umum terjadi pada 2,7% sampai 17% kehamilan (insidensnya rata-rata 3% di negara maju)2,3 dan umumnya terjadi spontan tanpa penyebab yang jelas. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm, secara statistik, terjadi pada 0,6-0,7% kehamilan.2 Salah satu penelitian lain menyebutkan bahwa prevalensi KPD hanyalah 1,7%, namun jumlah ini menyumbang lebih dari 20% dari semua kasus kematian perinatal.7
Amnionitis dan abruptio placentae paling sering terjadi pada ketuban pecah dini pada kehamilan preterm, dengan insidens 13%-60% (amnionitis) dan 4-12% (abruptio placentae).2

I.3. Fisiologi selaput ketuban (amnion)
Selaput ketuban terutama dibentuk oleh jaringan amnion yaitu jaringan yang memberikan kekuatan dan kelenturan pada selaput ketuban, karena itu pengetahuan tentang perkembangan perangkat jaringan amnion yang memberikan perlindungan terhadap risiko pecahnya ketuban sebelum proses persalinan, sangat penting untuk dipahami.
Struktur selaput ketuban
Bourne (1962) mengemukakan ada 5 lapisan terpisah pada jaringan amnion, yaitu: 3
1. lapisan yang dibentuk oleh sel-sel epitel kuboid yang sambung-menyambung (tidak terpisah), merupakan lapisan yang terletak di bagian paling dalam dan langsung bersentuhan dengan cairan amnion, dipercaya berasal dari ektoderm lempeng embrio; permukaan apikalnya mengandung banyak mikrovili sehingga merupakan tempat utama terjadinya transfer antara cairan amnion dan jaringan amnion; lapisan ini secara metabolik aktif dan merupakan tempat yang sintesis metalloproteinase-1 (tissue inhibitor)
2. lapisan membran dasar (basement membrane), tempat melekatnya lapisan epitel kuboid secara erat
3. lapisan kompak aseluler yang terutama disusun oleh kolagen interstisial I, III, V dan VI, tempat melekatnya lapisan membran dasar dan merupakan lapisan utama yang memberi kekuatan dan ketegangan pada membran
4. lapisan yang dibentuk oleh sel-sel mesenkim mirip fibroblas (fibroblast-like mesenchymal cells), diperkirakan berasal dari mesoderm lempeng embrio dan akan mengalami dispersi pada kehamilan aterm; lapisan ini berfungsi untuk:
• membentuk kolagen interstisial yang menyusun lapisan kompak,
• mensintesis sitokin (termasuk interleukin-6/IL-6, interleukin-8/IL-8, dan monocyte chemoattractant protein-1/MCP-1), sintersi sitokin ini akan meningkat sebagai respon terhadap toksin bakteri dan interleukin-1.
5. lapisan (zona) spongiosa yang relatif aseluler, merupakan lapisan terluar.
Jaringan amnion tidak memiliki jaringan otot polos, serabut saraf, kelenjar getah bening dan pembuluh darah.
Ketahanan membran terhadap ruptur
Jaringan amnion berperan penting pada ketahanan membran terhadap ruptur, terutama lapisan kompak yang disusun oleh jalinan kolagen interstisial I, III, V dan VI.
Kolagen interstisial adalah makromolekul utama pada hampir semua jaringan konektif (penyambung) dan protein yang jumlahnya paling banyak di tubuh kita. Kolagen I adalah kolagen interstisial utama pada jaringan tulang dan tendon yang berfungsi untuk menghasilkan kekuatan, sedangkan kolagen III dipercaya berperan pada integritas jaringan yang bersifat elastis.
Keistimewaan kolagen interstisial pada jaringan amnion adalah resistensinya terhadap degradasi proteolitik. 3
Sintesis kolagen pada jaringan amnion
Kolagen interstisial amnion terutama dihasilkan oleh jaringan mesenkim. Sel-sel epitel kuboid berperan dalam pembentukan protein membran dasar seperti prokolagen IV, fibronektin, dan laminin. Penelitian terakhir menemukan bahwa metallothionein dalam jumlah banyak dapat menghambat pembentukan kolagen.
Metallothionein adalah suatu protein yang mempunyai afinitas tinggi terhadap ion Cu2+, sehingga terdapat hipotesis bahwa sintesis kolagen menurun pada wanita yang merokok (hal ini didukung oleh data statistik bahwa risiko ketuban pecah dini meningkat salah satunya pada wanita yang merokok), karena wanita yang merokok akan menginhalasi Cadmium, zat ini dapat masuk ke dalam cairan amnion dan menginduksi metallothionein sehingga terjadi defisiensi Cu2+, akibatnya aktivitas lysyl oksidase berkurang sehingga kapasitas lapisan mesenkim membentuk jalinan kolagen juga ikut berkurang.3
McLaren cs (1999) dan McParland cs (2000) telah mengidentifikasi adanya perubahan morfologi membran pada tempat rupturnya, yaitu terdapat modifikasi pada diferensiasi sel pada korion leave yang dapat memperlemah ketahanan membran. Apakah perubahan ini juga melibatkan kolagen interstisial, belum diketahui pasti. 3
Fungsi metabolik jaringan amnion
Walaupun tidak mengandung pembuluh darah, jaringan amnion memiliki aktivitas metabolik yang aktif. Jaringan ini secara aktif mempertahankan homeostasis cairan amnion melalui pertukaran solute dan air pada lapisan epitel.
Jaringan ini juga menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif termasuk peptida vasoaktif, faktor-faktor pertumbuhan (growth factors), dan sitokin.

I.4. Etiologi dan Patofisiologi
KPD bisa terjadi karena berbagai hal. Pada kehamilan aterm, pecahnya ketuban bisa terjadi karena hal-hal fisiologis seperti penipisan serviks atau kontraksi uterus. Pada kehamilan preterm, peahnya ketuban umumnya dipicu infeksi yang akan menurunkan kandungan kolagen membran dan menimbulkan kontraksi uterus.1,2 Kontraksi uterus akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrauterin. Namun, peningkatan tekanan intrauterin tidak selalu menyebababkan pecahnya ketuban karena selaput amnion memiliki toleransi yang besar terhadap peningkatan tekanan intrauterin selama perangkat yang membentuk ketahanan membrannya, yaitu kolagen, tetap utuh. Maka, penyebab ketuban pecah dini yang utama adalah berkurangnya ketahanan membran.
Selaput ketuban bisa kehilangan ketahanannya bila kandungan kolagen pada membran berkurang, misalnya pada kondisi infeksi, inflamasi lokal, peregangan berulang karena kontraksi uterus, meningkatnya matriks metalloprotease pada cairan amnion, dan menurunnya penghambat metalloprotease.2,8
Faktor resiko untuk KPD mencakup status sosioekonomi yang rendah, infeksi menular seksual, riwayat partus prematur sebelumnya (terutama bila dipicu KPD), perdarahan per vaginam, riwayat konizasi cerviks, pemakaian sirklase pada serviks dan merokok selama kehamilan.1,2,4 Walaupun begitu, pada kebanyakan kasus, KPD bisa terjadi tanpa faktor resiko yang bisa dikenali.1

I.5. Komplikasi
1. Infeksi
Dari semua wanita dengan KPD preterm, infeksi intraamnion terjadi pada 13-60% kasus, dan infeksi postpartum terjadi pada 2-13% kasus. Resiko infeksi terutama meningkat pada KPD preterm pada usia kehamilan muda dan pada pasien yang dilakukan colok vagina. Walaupun begitu, dengan penanganan yang baik, komplikasi ibu yang berat dapat dicegah.1
Diagnosis adanya infeksi bisa dilakukan secara klinis saja, yaitu demam (peningkatan suhu menjadi 38 C atau lebih) disertai dua atau lebih tanda berikut ini: takikardia pada ibu, takikardia pada janin, nyeri tekan uterus, cairan amnion menjadi kental dan berbau, atau leukositosis pada ibu (leukosit di atas 18.000 dengan pergeseran ke kiri). Secara histopatologi, ditemukan infiltrasi sel-sel polimorfonuklear pada cairan amnion. Tanda ini lebih sering ditemukan sebelum adanya gejala klinis bila dilakukan pemeriksaan histopatologi sebagai pemeriksaan rutin.
2. Penyakit membran hialin
Penyakit membran hialin, seperti pada kelahiran preterm lainnya, merupakan ancaman terbesar bagi janin yang ibunya mengalami ketuban pecah dini sebelum kehamilannya aterm terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu. Didapatkan bahwa 29,8% kematian neonatus sebelum 36 minggu disebabkan oleh penyakit membran hialin, 14% karena komplikasi penyakit membran hialin, dan 12,3% karena komplikasi pengobatan untuk penyakit membran hialin. Berarti terdapat 56,1% kematian neonatus yang berhubungan langsung maupun tidak langsung terhadap penyakit membran hialin. Resiko ini menurun pada kehamilan di atas 32 minggu. Dengan terapi konservatif, penyakit membrane hialin pada usia ini hampir dapat ditiadakan.4
Terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan dengan insidens penyakit membran hialin. Pada neonatus dengan usia kehamilan 33-34 minggu, insidens penyakit membran hialin hanya 2% sampai 3% dan korioamnionitis terjadi pada 18% kasus. Pada usia kehamilan 32 minggu, risiko penyakit membran hialin meningkat menjadi 14,8% dan risiko infeksi menjadi 22,2%. Dan pada usia kehamilan yang lebih muda, risiko penyakit membran hialin lebih tinggi dibanding risiko infeksi. 2
3. Hipoplasia pulmoner
Oligohidroamnion dan kompresi pada paru-paru janin bisa menyebabkan hipoplasia pulmoner. Keadaan ini terutama terjadi pada KPD dengan usia kehamilan di bawah 26 minggu. Resiko hipoplasia pulmoner pada KPD usia 16-26 minggu dilaporkan bervariasi, mulai dari kurang dari 1%-27%.1 Pada KPD denagn usia kehamilan di atas 26 minggu, hipoplasia pulmoner jarang terjadi. Hal ini kemungkinan dikarenakan paru-paru sudah cukup tumbuh untuk bisa mendukung perkembangan post natal.
Hipoplasia pulmoner ditandai dengan distres pernafasan yang terjadi segera setelah bayi lahir dan membutuhkan dukungan maksimal ventilator. Paru-paru kecil dan terlihat opak pada foto toraks. Perjalanan penyakit berikutnya adalah munculnya pneumotoraks multipel dan emfisema interstisial. Akibatnya biasanya fatal. Diagnosis adanya hipoplasia pulmoner seringkali tidak akurat. Cara terbaik adalah dengan mengukur rasio lingkar dada terhadap lingkar perut. Rasio ini akan tetap konstan selama hamil dan bila mencapai 0,89 atau lebih maka prognosisnya baik. 2
4. Abruptio placentae
Risiko terjadinya abruptio placentae pada pasien yang mengalami ketuban pecah dini, rata-rata 6% dan 2% bisa terjadi pada pasien tanpa ketuban pecah dini. Kondisi ini biasanya terjadi bila air ketuban menjadi jauh berkurang sehingga terjadi perburukan yang progresif pada tempat menempelnya plasenta dan menyebabkan plasenta lepas.
Tanda klinis yang ditemukan adalah perdarahan pervaginan ringan sampai sedang dan persalinan preterm.
5. Distress pada janin
KPD, seperti telah disebutkan akan meningkatkan resiko terjadinya kompresi tali pusat.4 Hal ini, selain beberapa factor lain, akan mnimbulkan distress pada janin. Distress ini dapat diketahui dari adanya perubahan pada pola denyut jantung janin. Hal ini terjadi pada 7,9% janin yang ibunya mengalami ketuban pecah dini dan 1,5% janin yang ibunya tidak mengalami ketuban pecah dini.
Perubahan yang paling sering terlihat pada pola denyut jantung janin adalah adanya deselerasi variabel yang menggambarkan adanya kompresi tali pusat.
6. Komplikasi janin lain
Deformitas pada wajah (berupa telinga rendah dan lipatan epikantus) dan sistim musculoskeletal (berupa malposisi ekstremitas) bisa terjadi pada ketuban pecah dini preterm yang memanjang. Komplikasi lain mencakup necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventrikular.1

I.6. Diagnosis
Diagnosis KPD bisa dilakukan dengan menentukan adanya pengeluaran cairan ketuban pada wanita hamil yangbelum memasuki keadaan inpartu. Riwayat keluar cairan bisa didapatkan dengan anamnesis. Bila keadaan ini didapatkan pada pasien hamil muda (bagian terbawah janin belum masuk panggul), cairan yang keluar biasanya cukup banyak. Hal ini dikarenakan tidak adanya bagian tubuh janin yang menutup rongga panggul sehingga seluruh cairan ketuban bisa keluar dari cerviks. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya pengurangan cairan ketuban. Kondisi ini bisa diperiksa dengan pemeriksaan Leopold. Pada pemeriksaan dengan inspekulo, bisa didapatkan adanya genangan cairan di belakang forniks posterior atau ada cairan yang keluar dari ostium uteri eksternum.4
Untuk mengkonfirmasi bisa dilakukan pemeriksaan pH cairan di vagina. Sekret vagina akan memilki pH 4,5-5,0. Sementara cairan ketuban memiliki pH 7,0-7,5. Angka pH di atas 6,5 sudah memperkuat diagnosis pecahnya ketuban. Pemeriksaan pH umumnya dilakukan dengan nitrazine. Hasil positif palsu bisa didapat pada kondisi BV, adanya darah, dan adanya semen di liang vagina. Hasil negatif palsu bisa didapat bila cairan di liang vagina telah kering. Beberapa pemeriksaan lain juga telah dikembangkan sebagai penanda pecah ketuban. Pemeriksaan-pemeriksaan ini mencakup tes ferning cairan vagina, penyuntikan pewarna ke kantong amnion per abdominal, dan deteksi alpha-fetoprotein pada cairan vagina.4 Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakuan adalah USG untuk mengetahui Indeks Cairan Amnion.

I.7. Penatalaksanaan
1. Identifikasi pasien yang membutuhkan terminasi kehamilan segera
Langkah pertama untuk menatalaksana kasus dengan ketuban pecah dini adalah mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terminasi kehamilan segera, yaitu
a. pasien yang sedang dalam proses persalinan
b. pasien yang paru janinnya sudah matang
c. pasien yang janinnya mengalami malformasi
d. ada distress pada janin
e. bila ada infeksi
f. pasien dengan amnionitis subklinis
g. pasien dengan risiko tinggi mengalami infeksi, yaitu
• pasien yang mendapat obat-obat imunosupresan
• pasien dengan riwayat penyakit jantung rheuma
• pasien dengan riwayat insulin-dependen diabetes
• pasien dengan anemia sel sabit
• pasien dengan prostesis katup jantung
• pasien yang mengalami beberapa kali pemeriksaan dalam setelah pecahnya ketuban
2. Tentukan usia kehamilan pasien
a. pasien dengan ketuban pecah dini pada usia kehamilan 37 minggu atau lebih, harus segera diakhiri kehamilannya.
Tidak ada keuntungan yang diperoleh dengan penundaan proses persalinan. Observasi hanya dibenarkan dalam waktu 24 jam, tidak lebih, untuk menilai apakah pasien akan memasuki proses persalinan atau tidak. Masa observasi ini tidak menyebabkan infeksi menurut penelitian yang dilakukan oleh Conway et al apabila kepala bayi sudah cakap dan tidak ada kelainan pada pola denyut jantung janin dan selama itu dilakukan pemantauan terhadap frekuensi nadi dan suhu tubuh ibu. 3
Pada pasien juga diberikan ampisilin 500 mg setiap 6 jam secara oral atau eritromisin 250 mg setiap 6 jam secara oral sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur vagina terhadap kuman streptokokus grup B.
Bila proses persalinan tidak terjadi spontan dalam 24 jam, lakukan penilaian pada serviks, bila serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dan dilanjutkan dengan induksi persalinan.
b. pasien dengan ketuban pecah dini pada usia kehamilan antara 32-36 minggu
Komplikasi tersering pada pasien dengan ketuban pecah usia kehamilan 32-36 minggu adalah korioamnionitis, karena itu penatalaksanaannya cenderung ke arah terminasi kehamilan dan pemberian antibiotik.
c. pasien dengan ketuban pecah dini pada usia kehamilan antara 23-31 minggu
Kelahiran sebelum usia 32 minggu berhubungan erat dengan komplikasi neonatal yang bermakna, termasuk risiko kematian. Karena alasan ini, dipilih terapi konservatif sebagai usaha untuk memperpanjang usia kehamilan sehingga mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas terhadap neonatus. Terapi ini mencakup pematangan paru selama 2 hari dengan dexamethasone atau betamethasone dan pemberian antibiotic profilaksis.4 Pada kenyataannya, walaupun telah menjalani terapi konservatif, sebagian besar akan mengalami proses persalinan setelah masa laten yang singkat. Pada umumnya, terminasi dilakukan segera setelah paru matang (kurang lebih setelah 2hari terapi).
Selama menjalani terapi konservatif, ibu harus tirah baring, dan dilakukan pemantauan yang teliti terhadap kondisi ibu dan janin untuk mendeteksi adanya infeksi dan tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dalam. Bila terjadi infeksi, segera akhiri kehamilan.





BAB II
ILUSTRASI KASUS

Ny. N, 35 tahun, datang ke IGD lt. 3 RSCM tgl 25 September 2009 pukul 11.40 WIB, dirujuk dari PKM Tebet dengan keterangan G5P4A0 hamil 30 minggu dengan ketuban pecah dini. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang beralamat di Jl. Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Pasien mengaku sedang hamil 7-8 bulan namun tidak ingat hari pertama haid terakhir. Pasien mengikuti pemeriksaan antenatal di puskesmas Tebet tetapi tidak teratur. Pasien juga tidak pernah USG. Pasien mengeluh keluar air jernih dari kemaluan seperti buang air kecil yang tidak dapat ditahan sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Cairan keluar dalam jumlah banyak dan tidak berbau. Setelahnya, pasien juga merasa mules sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Mules dirasakan jarang dan tidak teratur. Gerak janin (+), keluar darah lendir dari kemaluan (+), demam (-), nyeri (-). Pasien lalu segera ke puskesmas dan dirujuk ke RSCM. Riwayat hipertensi, asma, diabetes, dan penyakit jantung sebelumnya disangkal. Pasien juga tidak pernah menjalani operasi sebelumnya. Saat ini pasien tidak menderita infeksi gigi dan THT, serta batuk pilek. Namun, pasien sering mengalami keputihan yang tidak pernah diobati dan terasa gatal. Riwayat hipertensi, asma, dan diabetes di keluarga juga disangkal.
Pasien menikah pada usia 25 tahun dan merupakan pernikahan pertama dan satu-satunya. Anak pertama berusia 9 tahun, laki-laki, sehat, lahir di RSCM, berat 3000 gram. Anak kedua berusia 5 tahun, laki-laki, sehat, lahir di puskesmas, berat 3500 gram. Anak ketiga berusia 4 tahun, sehat, lahir di puskesmas, berat 3000 gram. Anak keempat berusia 3 tahun, sehat, lahir di puskesmas, berat 3200 gram. Pasien tidak ingat menstrual diary-nya. Riwayat kontrasepsi tidak ada.
Dari status generalis didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, TD 120/70 mmHg; Nadi 88 x/mnt; Pernafasan 20 x/mnt; dan Suhu 36,4oC. Konjungtiva tidak pucat. Jantung dan Paru dalam batas normal. Abdomen membuncit sesuai usia kehamilan. Pada ekstrimitas tidak didapatkan edema.
Status Obstetri: tinggi fundus uteri 24 cm, punggung janin di kiri; kepala 5/5; taksiran berat janin klinis 1700gr; denyut jantung janin 140 x/menit; dan kontraksi ireguler (+) (Status tokolisis = 5). Pada inspeksi vagina dan uretra tenang, serta tampak rembesan cairan jernih. Pada inspekulo didapatkan porsio livide dan licin, pembukaan OUE 1 cm, fluor negatif, fluksus positif, valsava positif, LEA (-). Pada pemeriksaan dalam didapatkan portio kenyal, posterior, tebal 3 cm, pembukaan 1cm, ketuban negatif, kepala di atas pintu atas panggul (pelvic score = 3).
Pada pemeriksaan USG lt 3 IGD; tampak janin presentasi kepala tunggal hidup; gerak aktif; gerak napas > 2 x/menit; dengan BPD 80 mm; HC 263 mm; AC 251 mm; FL 61 mm; TBJ 1600 gr; ICA 11; plasenta berimplantasi di fundus dan korpus belakang; kesan sesuai hamil 30 minggu.
Dari pemeriksaan darah perifer lengkap memberikan nilai 11,3/ 33/ 7.700/ 269.000/ 84/ 29/ 34. Pemeriksaan darah lain dalam batas normal. Dari urinalisa didapatkan peningkatan sedimen leukosit dan eritrosit, darah/ Hb (+), serta esterase leukosit (+).
Pada pemeriksaan Kardiotokografi didapatkan frekuensi dasar 150 dpm; variabilitas 5-20 dpm; akselerasi positif, deselerasi negatif; his negatif, dan gerak janin positif. Kesan reassuring.
Berdasarkan data-data di atas, ditegakkan diagnosis kerja ketubah pecah 10 jam pada G5P4A0 hamil 30 minggu janin tunggal hidup dengan kontraksi ST= 5. belum impartu, serviks belum matang. Rencana diagnosis selanjutnya adalah observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan, dan denyut jantung janin per jam, observasi tanda-tanda kompresi tali pusat dan infeksi intrauterin, tes LEA dan DPL tiap hari, serta USG fetomaternal untuk konfirmasi. Rencana tatalaksana selanjutnya adalah antibiotika ceftriakson 1x2 gr iv, tokolisis: nifedipine 4x 10 mg, pematangan paru: dexametason 1x 2 gr iv selama 2 hari, hidrasi cukup, dan bed rest. Rencana edukasi berupa sterilisasi. Terminasi kehamilan dan konsul perinatologi untuk NICU juga direncanakan setelah pematangan paru. Terminasi direncanakan per vaginam, kecuali bila terdapat oligohidramnion berat. Keadaan bebas kontraksi dicapai dan dipertahankan setelah 1 jam. Setelah pematangan paru, tanggal 27/9/09, pasien diberikan misoprostol 4 x 25 µg/ 6 jam per vaginam untuk induksi pematangan serviks.
Hasil konsul perinatologi menyatakan NICU sedang penuh. Setelah 6 jam sejak pemberian misoprostol tenyata serviks belum matang juga maka pemberian misoprostol kedua dilakukan tujuh jam setelah pemberian misoprostol pertama. Enam jam kemudian, serviks masih belum matang. Pemberian misoprostal dilanjutkan hingga empat kali dan serviks masih belum matang, sedangkan air ketuban telah berkurang (ICA = 8.5) sejak awal pemberian misoprostol keempat. Oleh karena itu, diputuskan SC sito walaupun akan meningkatkan resiko infeksi ibu. Pasien lalu dilakukan sectio cesarea transperitoneal profunda (SCTPP) dengan tubektomi Pomeroy. Tubektomi dilakukan setelah dilakukan konseling.
Dari operasi lahir bayi laki-laki, dengan berat badan 1900 gram, panjang 44 cm, dan skor apgar 9 dan 10. Setelah operasi selesai, keadaan umum dan tanda vital pasien baik. Pasien lalu dipulangkan 3 hari kemudian.


BAB III
PEMBAHASAN

Pasien adalah seorang wanita 35 tahun dirujuk dari puskesmas Tebet dengan diagnosis G5P4A0 hamil 30 minggu dengan ketuban pecah dini. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dari kalangan sosio-ekonomi rendah dan mengaku mengalami keputihan yang gatal sejak lama yang tidak diobati. Kedua hal ini adalah faktor-faktor resiko yang menunjang terjadinya ketuban pecah dini. Faktor-faktor resiko lain tidak ditemukan.
Diagnosis ketuban pecah dini preterm ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien mengaku keluar air jernih yang banyak seperti buang air kecil dari kemaluan. Hal ini sesuai dengan gejala KPD pada kehamilan usia preterm. Air yang keluar akan banyak karena bagian terbawah janin belum masuk panggul. Dari pemeriksaan inspekulo ditemukan adanya cairan jernih yang keluar dari ostium uteri eksternum. Pemeriksaan colok vagina juga memberikan hasil ketuban negatif. Maka, dari pemeriksaan fisik, dugaan ke arah KPD semakin diperkuat. Diagnosis KPD preterm dibuat berdasarkan usia kehamilan per USG, yaitu 30 minggu. Hal ini sudah memenuhi kriteria KPD preterm yaitu pecahnya selaput ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu.4
Pasien ini tidak dalam proses persalinan, paru-paru janin (sesuai usia kehamilan) belum matang, tidak ditemukan tanda-tanda infeksi intrauterin, tidak ditemukan distres janin pada CTG, dan tidak memiliki resiko tinggi infeksi. Maka, pada pasien ini tidak ditemukan adanya indikasi terminasi segera. Mengingat usia kehamilan pasien yang di bawah 32 minggu, maka terapi yang dianjurkan adalah pematangan paru selama 2 hari dengan tambahan profilaksis antibiotik dan terminasi segera setelah paru matang. Pasien diberikan antibiotika ceftriakson 1x2 gr iv, tokolisis dengan nifedipine 4x 10 mg, dan pematangan paru dengan dexametason 1x 2 gr iv selama 2 hari.4 Terminasi direncanakan dilakukan setelah 2 hari pematangan paru. Terminasi direncanakan per vaginam, mengingat resiko yang lebih tinggi pada persalinan per abdominal (sectio cesarea). Maka setelah paru matang, dilakukan pemberian Misoprostol 4 X 25 µg/ 6 jam. Namun setelah observasi 1 hari, ternyata serviks belum matang dan pasien mulai mengalami oligohidroamnion (ICA: 8,9). Hal ini sudah merupakan indikasi terminasi segera. Memang perlu diingat bahwa tindakan sectio cesarea meningkatkan berbagai resiko mortalitas dan morbiditas, namun pada kondisi ini, menunda persalinan lagi akan juga meningkatkan resiko infeksi pada ibu dan resiko kompresi tali pusat, deformitas, dan infeksi pada janin.1 Maka diputuskan untuk mengambil tindakan sectio cesarea segera. Pada operasi juga dilakukan tubektomi Pomeroy. Hal ini didasarkan pada jumlah anak pasien yang sudah 5. Pasien sudah diberi konseling.

Daftar Pustaka

1. American College of Obstetricians and Gynecologists. Premature rupture of membranes. ACOG Practice Bulletin, 1998;1
2. Mercer, MB. High risk pregnancy series: an expert’s view. Preterm premature rupture of the membranes. Am J Obstr&Gynecol 2003; 189: 111-8.
3. Arias, F. Practical Guide to High Risk Pregnancy and Delivery, 2nd ed. St Louis: Mosby Year Book, 1993:100-10.
4. Cunningham GF, Gant NF, Leveno JK, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams Obstetrics, 21st ed. New York: McGraw-Hill, 1997: 101-5.
5. Hannah ME, Ohlsson A, Farine D, Hewson SA, Hodnett ED, Myhr TL, et al. Induction of labor compared with expectant management for prelabor rupture of the membranes at term. N Engl J Med 1996;334:1005-1010
6. Mercer BM, Arheart KL. Antimicrobial therapy in expectant management of preterm premature rupture of the membranes. Lancet 1995;346:1271-1279
7. Cox SM, Bohman VR, Sherman ML, et al: Randomized investigation of antimicrobials for the prevention of preterm birth. Am J Obstet Gynecol 1996; 174:206
8. Romero R, Chaiworapongsa T, Espinoza J, Gomez R, Yoon Bh, Edwin S, et al. Fetal plasma MMP-9 concentration are elevated in preterm premature rupture of the membranes. Am J Obstr&Gynecol 2002; 187: 1101-8.